Halaman

Jumat, 13 Januari 2012

Hari pertama @Jogja

Selasa, 27 Desember 2011..

“Wellcome”, sambut kota gudeg kepada gue. Pukul lima lewat dua puluh menit, gue sampai di Stasiun Tugu, Jogja. Perjalanan memang sedikit ngaret dari yang sudah ditentukan, namun inilah budaya bangsa Indonesia.  Kami pun keluar stasiun dan mencari sebuah taksi roda tiga. Ngga deh, taksi roda empat aja,  susah nyari yang roda tiga. Kami menuju rumah bude gue. Cukup mudah juga untuk menemukan rumahnya. Setelah tiba, gue langsung beristirahat untuk tidur karena semalaman gue ngga bisa tidur dengan nyenyak di kereta.
Empat jam gue tidur dengan nyenyak, gue bersiap bangun untuk melanjutkan schedule yang sudah ditentukan nyokap gue.  Gue sempat mau memberitahukan kabar gue ke pacar gue tapi sinyal disini sangan sakaratul maut banget. Gue mau sms aja, harus susah payah ngangkat ketek setinggi mungkin untuk mendapatkan sinyal.  Gimana kalau setiap hari?? Bisa keram ketek tujuh turunan delapan tanjakan nih !
Sms pun gue tunda sampai gue mendapatkan sinyal yang selayaknya.
Schedule pertama adalah kita pergi ke Galleria, bertemu dengan teman nyokap gue.  Menaiki, mencoba, merasakan dan menikmati bus trans Jogja adalah yang pertama kalinya bagi gue. Banyak perbedaan trans Jogja dan trans Jakarta. Disini, semuanya serba mini dan manual. Dengan halte (Shelter) dan busnya yang lebih mini, imut , unyu .  Serta dengan manual system di dalam bus. Kalau di Jakarta, menggunakan Computer System  di setiap perhentian, disini berbeda.
“Selanjutnya Shelter Malioboro I, (kemudian dia melanjutkan jalur-jalur yang bisa dituju seandainya turun di shelter (halte) tersebut). Mohon beri jalan untuk yang keluar terlebih dahulu, hati-hati mbak ! yang turun kakinya terlebih dahulu. (beliau berusaha melawak).” Ucap kenek trans Jogja. Dan itulah keunikan trans Jogja.
 Turun dari trans Jogja, kami langsung masuk ke Galleria. Gue pikir, Galleria adalah sebuah galeri yang menampilkan berbagai kesenian. Tapi Galleria yang dimaksud adalah nama salah satu mall di Jogja.
Hal yang gue pikirkan adalah membandingkan mall d Bekasi dengan disini. Di Giant Bekasi, semua penjual di toko-tokonya sangat banyak,berbeda dengan disini yang lebih sepi namun tertib. Nyokap gue yang sedang mengobrol dengan temannya, terpaksa gue tinggal ke tempat permainan bersama adek gue dan mas panji (kakak sepupu). Di timezone, gue masuk dengan gaya anak kota. Beberapa langkah melihat semua permainan, gue mulai bingung. Kalau di giant permainan seperti ini menggunakan koin, tapi di timezone ini memakai sebuah kartu. Mampus, gue ngga ngerti. Kita pun keluar ke tempat permainan di sebelahnya.
Disini juga sama, menggunakan kartu. Sampai akhirnya kita mencari yang lainnya. Setelah masuk, berbekal duit lima puluh ribu dari nyokap, gue menghabiskan uang 60 ribu. Sudah pasti rugi. Namun dengan hasil ticket yang kita dapatkan dari beberapa permainan, kita bisa mendapatkan gantungan kunci, sticker, permen dan tiga buah fruit tea. Kita pun turun kembali ke tempat nyokap yang masih asyik mengobrol. Akhirnya kita pulang menuju rumahnya mas Panji menggunakan trans Jogja (lagi).
Ketika sedang menunggu di halte, gue melihat sebuah becak bahkan andong/delman yang menggunakan plat nomor kuning. Yang artinya, plat nomornya bau ! Bukan deh, yang artinya ini merupakan angkutan umum. Unik juga, karena di Jakarta jarang ada becak berplat nomor. Bus yang gue tunggu pun datang.
Di akhir perjalanan, dengan semangatnya supir trans Jogja ini membelok-belokkan busnya sehingga keadaan di dalam bus yang penuh sesak dengan penumpang ini menjadi goyang kanan, goyang kiri seperti naik wahana roller coaster di Dufan. Dan sementara keadaan posisi duduk gue sangat memprihatinkan. Dengan pantat yang Cuma mendapat setengah bangku yang dimana bangkunya itu juga tinggal setengah harus berbagi pula dengan seoarang ibu-ibu. Alhasil, pantat gue menjadi kejang-kejang.
Perjalanan yang membutuhkan waktu sekitar 35 menit pun berkahir di terminal Giwangan, Kab.Bantul. Kita pun menaiki ojek untuk menuju rumah mas Panji karena memang letaknya sangat terpencil. Dan ini adalah kabar buruk (lagi) untuk sinyal gue. L Mas Panji sudah menikah dan memiliki satu orang gadis berumur satu tahun yang diberi nama “Gadis”. Ngga tau deh kenapa dikasih nama seperti ini.
Sesampainya disana, gue dan keluarga pun beristirahat mengumpulkan tenaga untuk melawan sultan keraton !
Malam harinya kita mau ke keraton. Tapi sebelumnya karena kita lapar, kita menuju rumah makan Raminten. Sesuai dengan saran teman gue, katanya disini enak. Yes ! Mari kita coba seberapa maknyus’nya makanan di raminten. Kemudian kita mengurungkan niat untuk makan disana karena kita sudah makan antrian motor dan mobil yang menggambarkan betapa banyaknya pengunjung disini. Katanya kalau mau, silahkan antri. Tentu saja gue yang pengen makan disitu menjadi males karena berpikiran kalau kita sudah selesai makan, pasti akan diusir secepat-cepatnya dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Karena sudah banyak antrian di belakang kita. Kita pun tidak jadi makan dan langsung ke keraton.
Masuk ke alun-alun keraton yang dipenuhi orang banyak ini membuat gue bersemangat untuk bersenang-senang disini. Terlihat Mobil Sepeda Berlampu Hias Warna Warni Keraton (pemberian nama oleh gue untuk kendaraan ini). Karena memang MSBHWWK ini begitu menarik dan unik. Kita bisa naik ber4 ataupun ber6 untuk mengelilingi alun-alun keraton. Gue mau mencoba MSBHWWK ini !!
Setelah memarkirkan motor, gue pun kembali kagum dengan twin tree (lagi-lagi pemberian nama dari gue) di depan keraton ini. Yang katanya (orang-orang), jika kalian bisa melewati kedua pohon ini dengan menutup mata, permintaan kalian pasti terpenuhi. Gue mau mencobanya, kebetulan nyokap bawa sapu ijuk tangan untuk penutup mata gue.
Mata sudah tertutup, gue pun bersiap untuk melangkah. Sebelumnya gue meminta sebuah permohonan yang akan berhasil ketika gue sampai di seberang pohon nanti. Gue minta,” Semoga gue bisa melewati pohon ini !!”
Berjalan dengan penuh gaya seperti Deddy Corbuzier. Langkah pertama masih lurus, langkah kedua juga begitu masih lurus. Kedua tangan gue meraba-raba berharap tidak menabrak seseorang. Sudah berpuluh-puluh langkah gue berjalan. Gue pun merasa sudah sampai di seberang pohon. Namun, jarak gue hanya beberapa langkah dari tempat semula. Kata nyokap dan adek gue, gue itu Cuma muter-muter aja.  Karena penasaran, gue pun mencoba lagi. Usaha kedua sudah hampir berhasil, gue sampai 60 % perjalanan dari jarak tempat gue semula ke pohon  tersebut. Namun, gue sudah menyerah kembali karena sudah pusing dengan semua ini.

Akhirnya kita pun mencoba SMBHWWK dan gue yang menjadi supirnya. SMBHWWK pun berjalan dengan digenjot oleh kami berempat. Sekali keliling berharga 25 ribu rupiah. Perjalanan terasa lama karena sempat terjadi macet total di sekitar keraton. Mungkin sekitar 15 menit kami mengemudikannya, kita pun sampai 1 putaran. Selesai naik SMBHWWK, kita pun membeli wedang ronde untuk menghangatkan tubuh kita. Kehangatan wedang ronde pun menghilangkan semua kelelahan kami. Dan kami pun berlanjut untuk mencari makan.


Kami memilih Rumah Makan Bakmie Kadin. Sesampainya disana, kami mendapat tempat dan mulai memesan makanan. Gue memesan mie goreng dan es teh manis. Mungkin rasa yang enak bakmie kadin (kata nyokap gue) ini yang membuat gue tertarik makan disini. 30 menit pun berlalu dari saat kita memesan makanan. Nyokap mengeluarkan kacang kulit untuk menjadi bahan cemilan. Kita pun menghabiskan waktu menonton. Menonton orang yang sedang makan. 45 menit, makanan belum datang juga. Lebih dari 1 jam kita menunggu dan sudah mulai bosan, minuman pun datang beserta makanannya.
Dalam 10 menit, makanan kita pun sudah berpindah ke dalam perut. Inilah teori makan gue disini, “membutuhkan waktu satu jam  untuk menunggu makanan datang, tetapi hanya butuh sepuluh menit untuk menghabiskan makanan ini.” Selesai makan, tentu saja kami membayarnya terlebih dahulu, kami pun pulang dan beristirahat untuk esok hari yang sudah menunggu kami.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar